Minggu, 11 Maret 2012

Iwan Fals, The Asian Heroes


Latar Belakang Keluarga
“Asian Heroes”. Begitulah Iwan Fals dijuluki oleh majalah Time. Begitu dahsyatkah lelaki yang bernama lengkap Virgiawan Listanto ini? Menyimak profile artis yang satu ini akan sangat menarik.
Lahir di Jakarta, 3 September 1961 dari pasangan ibu Lies dan ayah Haryoso, seorang pensiunan tentara. Iwan kecil hidup dengan berpindah-pindah tempat karena mengikuti tugas ayahnya, mulai tinggal di Bandung sampai ke Jeddah, Arab Saudi.
Sejak kecil, ia memang sudah menyenangi musik. Umur 13 tahun ia mulai mengamen dengan menggunakan gitar. Bahkan, saat masih SMP ia sudah bisa membuat lagu sendiri.
Meniti Karier
Saat pertama kali membuat master album rekamannya, Iwan harus menjual motornya terlebih dahulu. Sayangnya, album perdana Iwan yang tergabung dalam grup Amburadul gagal di pasaran.
Setelah itu, ia tetap mencoba membuat album sampai album ke-3, namun tak satupun yang sukses. Saat ini, sisa-sisa album tersebut justru sangat diburu oleh para kolektor dan para fans fanatik.
Perubahan signifikan terjadi saat Iwan Fals menjuarai festival country. Ia berhasil digandeng oleh Musica Studio. Saat itulah, ia mulai dikenal luas khalayak musik Indonesia.
Album pertamanya bersama Musica, Sarjana Muda (1981), berhasil menyentak perhatian dengan hits seperti: Sarjana Muda, Oemar Bakri, Yang Terlupakan, Doa Pengobral Dosa, Puing, 22 Januari, dan Hatta.
Lagu-lagu tersebut bagaikan lagu abadi yang wajib diketahui oleh anak muda, bahkan hingga saat kini.
Walau sudah eksis sebagai penyanyi, Iwan Fals masih menjadi pengamen di seputaran Blok M. Ia tergabung dalam Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ) bianaan Anto Baret.
Tak heran bila lagunya banyak memotret kehidupan sosial rakyat jelata. Itu pulalah yang menjadi ciri khas lagunya yang kelak akan membawanya berurusan dengan pihak berwajib.
Simbol Perlawanan
Sejak sukses dengan album Sarjana Muda-nya, karier Iwan Fals seperti takterbendung. Album-album berikutnya mengalir deras. Opini (1982), Sumbang (1983), Barang Antik (1984), Sugali (1984), KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) (1985), Sore Tugu Pancoran (1985), Aku Sayang Kamu (1986), Ethiopia (1986), Lancar (1987), Wakil Rakyat (1988), 1910 (1988), Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu (1988), dan Mata Dewa (1989).
Ia juga terlibat bersama Sawung Jabo, Naniel, Nanoe, dan Innisisri dalam album Swami (1989) yang berisikan lagu “Bento” dan “Bongkar” yang sangat fenomenal, kontroversial dan heroik.
Banyak orang yang menafsirkan “Bento” adalah singkatan “Benci Soeharto”. Wallahu Alam. Oleh majalah musik Rolling Stone, lagunya yang berjudul “Bongkar” menerima penghargaan 150 lagu terbaik sepanjang masa.
Tak cukup sampai di situ, Iwan Fals mulai dekat orang-orang kritis seperti WS Rendra, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo, dan pengusaha minyak Setiawan Djodi. Mereka berkolaborasi dalam proyek Kantata Takwa.
Banyak bait-bait puisi WS Rendra yang penuh dengan kritik sosial diadopsi menjadi lagu mereka, seperti: Paman Doblang, Kesaksian, Rajawali, Nocturno, Orang-orang Kalah, Balada Pengangguran, dan Gelisah.
Konser musik akbar Kantata Takwa yang diadakan pada 23 Juni 1990 di Stadion Utama Gelora Bung Karno sampai saat ini dianggap sebagai konser musik terbesar dan termegah sepanjang sejarah musik Indonesia, dilihat dari jumlah penonton dan teknologi yang dipakai.
Kondisi sosial masyarakat saat itu yang penuh dengan ketimpangan dan ketidakadilan membuat Iwan Fals seakan menjadi simbol perlawanan.
Iwan Fals sudah menjadi idola, foto dan gambarnya ada di mana-mana. Takada anak muda yang tidak mengenal lagu-lagunya. Lagu-lagunya di putar di mana-mana, di kamar kost, angkot, pusat perbelanjaan, pasar, terminal, dan stasiun kereta. Seakan dengan mendengar dan menyanyikan lagunya rakyat merasa “ada yang membela”.
Kondisi tersebut menyebabkan beberapa konser musiknya banyak yang dipersulit, baik dengan cara halus seperti tidak diberi izin atau dengan cara kasar seperti pemadaman listrik tiba-tiba. Bahkan, dibubarkan secara paksa.
Iwan Fals juga sempat ditahan oleh aparat keamanan selama 2 minggu karena menyanyikan lagu “Demokrasi Nasi”, “Pola Sederhana” dan “Mbak Tini” pada saat konser di Pekanbaru medio April 1984. Sejak saat itu, teror dan intimidasi kerap terjadi pada diri dan keluarganya.
Tak heran apabila sepak terjang Iwan Fals di dunia musik membawanya pada julukan Asian Heroes oleh majalah Time.

Kamis, 08 Maret 2012

SUARA IWAN FALS DI DEPAN MATA


Dari perhelatan Gala Primer Film “Batas” yang digarap Marcela Zalianty dkk melalui rumah produksi barunya Keana Production di Epicentrum Kuningan, Jakarta 12 Mei 2011, satu hal yang membuat saya berdecak kagum adalah mendengar dan melihat langsung suara emas sang legenda Iwan Fals.

Begitu acara dilanjutkan, pembawa acara menyebut kata-kata “Kita sambut, the legend, Iwan Fals!” Sontak tepuk tangan meriah yang belum terdengar sejak awal acara, pecah. Memang, karisma musik Iwan Fals yang terbangun selama beberapa dekade membuatnya pantas disebut legenda. Saat naik ke panggung pun, Iwan Fals masih nyaman dengan senyum khasnya dan menyampaikan terima kasih kepada semua yang menyambutnya. Sungguh bernilai tinggi.

Lagu yang dinyanyikan malam itu adalah “Batas Tak Berbatas”, lagu terbaru yang sekaligus menjadi lagu tema film “Batas”. Begitu Iwan Fals tertunduk ke arah jari-jarinya yang mulai memetik satu-dua senar gitarnya, suasana langsung hening, lalu tepuk tangan kembali pecah, lalu hening lagi.

Saya paling suka Iwan Fals menyanyikan lagu dengan musik akustik, karena benar-benar menampakkan karakter suaranya yang ringan namun sangat menyentuh. Lagu ini pun seluruhnya diiringi oleh petikan gitar akustik Sang Legenda sendiri, sangat syahdu, belum lagi karena memang liriknya sangat menyentuh. Lirik ini diciptakan oleh salah satu pencetus ide cerita “Batas”, Slamet Raharjo Djarot.

Saat Iwan Fals tak senyum lagi, bibirnya mulai melukis nada, lalu keningnya mengkerut seperti biasa.

Memang, saya bukan satu-satunya orang yang pernah melihat suara Iwan Fals dari dekat. Saya hanya menggambarkan kenyamanan tersendiri dalam perasaan saat mendengar lirik demi lirik dilantunkan oleh sang Legenda. Menurut saya ini kecerdasan bermusik, dan membalut seni secara keseluruhan, dipadu kekuatan karakter yang tak pernah berubah. Iwan Fals benar-benar legenda. Seorang musisi yang tak pernah tergantung antara langit dan bumi, tapi seakan-akan berada di keduanya pada saat yang bersamaan.

Film “Batas” tayang di bioskop-bioskop mulai 19 Mei mendatang. Lagu “Batas Tak Berbatas” sudah bisa didengarkan melalui radio-radio lokal Tanah Air.

*Catatan perjalanan, Jakarta 12 Mei 2011.
Oleh Afandi Sido (source : kompasiana.com) ***
Labels: 
[Baca Selengkapnya]

BATAS TAK BERBATAS (OST FILM "BATAS", RILIS MEI 2011)

BATAS TAK BERBATAS

Penyanyi : Iwan Fals
Ciptaan : Iwan Fals
Lirik : Slamet Rahardjo Djarot

Sendiri menanti pagi
Setitik embun bergantung di ujung daun
Sang dara melamun
Mimpi menelan matahari

Reff :
Suci embun segar perawan
Bergaun cahaya
Melintas batas
Ambisi dan kenyataan
Melambung tinggi, jauh
Ke alam impian

Bridge :
Dimana sungai dan pepohonan
Berkelindan menganyam kehidupan

Jejak telah dilangkahkan
Seribu kehendak harus terlahirkan
Urai jerat keangkuhan
Melepas belenggu
Rasa tahu berlebihan

Reff :
Memang gaun ini mesti berganti
Cahaya tak lagi menyilaukan
Dan menjelma menjadi pelurus hati
Kini sang dara menyanyi lagi

Bridge :
Tak lagi dia mau merasa sepi
Tak lagi dia mau merasa sendiri

Segar perawan berdandan
Atas cermin bercahaya kenyataan
Mimpi indah adalah
Fatamorgana

Walau samar cakrawala
Adalah kenyataan
Tampak jauh untuk ditempuh
Tapi itulah batas
Dari kehendak manusia yang tak berbatas
Oooh hmmmmm....

Reff :
Suci embun segar perawan
Bergaun cahaya
Melintas batas ambisi dan kenyataan
Melambung tinggi, jauh
Ke alam impian

Bridge :
Dimana sungai dan pepohonan
Berkelindan menganyam kehidupan
Dimana sungai dan pepohonan
Berkelindan menganyam kehidupan


SINOPSIS FILM

JALESWARI, dengan ambisi dan kepercayaan diri yang penuh, mengajukan diri untuk mengambil tanggung-jawab memperbaiki kinerja program CSR bidang pendidikan yang terputus tanpa kejelasan. Dia menyanggupi masuk ke daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan dan menjanjikan dalam dua minggu ketidak-jelasan itu dapat diatasi

Ternyata suatu kehendak belum tentu sejalan dengan kenyataan. Daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan memiliki pola kehidupannya sendiri. Mereka memiliki titik-pandang yang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan. Konflik bathin terjadi ketika dia terperangkap pada masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik dan menyentuh perasaan dibanding data perusahaan yang sangat teoritis dan terasa kering karena pada hakekatnya masalah rasa sangat relatif dan memiliki kebenaran yang berbeda

JALESWARI berada dalam tapal batas pilihan. Karisma hutan dan pola hidup masyarakat telah menyadarkan dirinya bahwa upaya memperbaiki kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat setempat. Jaleswari sangat memahami ADEUS, seorang guru yang dipercaya menjalankan program pendidikan, kini menjadi pribadi pendiam dan apatis, karena sistem pendidikan yang diinginkan perusahaan di Jakarta, tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat lebih memilih untuk jadi tenaga kerja yang dijanjikan jadi kaya oleh penjual jasa bernama OTIK. Salah satu korbannya adalah UBUH, pekerja TKI yang melarikan diri dari negeri tetangga. Oleh masyarakat Dayak disana, UBUH tak hanya beroleh perlindungan namun juga kehangatan dan keramahan yang perlahan membuatnya berangsur pulih dari trauma

Tragedi kemanusiaan ini, merubah pemikiran JALESWARI. Semua peristiwa terjadi di depan matanya. Jiwanya goncang dan PANGLIMA ADAYAK, kepala suku menuntunnya memahami "Bahasa Hutan" yang mengetengahkan rasa hormat dan cinta untuk tidak merusak dan sebaliknya malah menjaga dan meningkatkan harkat manusia dan lingkungan kehidupannya. Langkah JALESWARI sangat membantu ARIF sebagai instrumen negara yang dalam penyamaran dan ditugaskan di wilayah perbatasan.

Mampukah JALESWARI bangkit, melewati batasnya dan terus berjuang untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik?

Kamis, 01 Maret 2012

BIOGRAFI IWAN FALS














Aku lahir tanggal 3 September 1961. Kata ibuku, ketika aku berumur bulanan, setiap kali mendengar suara adzan maghrib aku selalu menangis. Aku nggak tau kenapa sampai sekarang pun aku masih gambang menangis. Biar begini-begini, aku orangnya lembut dan gampang tersentuh. Sebagai contoh, menyaksikan berita di televisi yang memberitakan ada orang sukses lalu medapatkan penghargaan atas prestasinya, aku pun bisa menangis. Melihat seorang ibu yang menunjukkan cinta kasihnya pada anaknya, juga bisa membuat aku tersentuh dan lalu menangis.

Bicara perjalanan karir musikku, dimulai ketika aku aktif ngamen di Bandung. Aku mulai ngamen ketika berumur 13 tahun. Waktu itu aku masih SMP. Aku belajar main gitar dari teman-teman nongkrongku. Kalau mereka main gitar aku suka memperhatikan. Tapi mau nanya malu. Suatu hari aku nekat memainkan gitar itu. Tapi malah senarnya putus. Aku dimarahi.

Sejak saat itu, gitar seperti terekam kuat dalam ingatanku. Kejadian itu begitu membekas dalam ingatanku.

Dulu aku pernah sekolah di Jeddah, Arab Saudi, di KBRI selama 8 bulan. Kebetulan di sana ada saudara orang tuaku yang nggak punya anak. Karena tinggal di negeri orang, aku merasakan sangat membutuhkan hiburan. Hiburan satu-satunya bagiku adalah gitar yang kubawa dari Indonesia. Saat itu ada dua lagu yang selalu aku mainkan, yaitu Sepasang Mata Bola dan Waiya.

Waktu pulang dari Jeddah pas musim Haji. Kalau di pesawat orang-orang pada bawa air zam-zam, aku cuma menenteng gitar kesayanganku. Dalam perjalanan dalam pesawat dari Jeddah ke Indonesia, pengetahuan gitarku bertambah. Melihat ada anak kecil bawa gitar di pesawat, membuat seorang pramugari heran. Pramugari itu lalu menghampiriku dan meminjam gitarku. Tapi begitu baru akan memainkan, pramugari itu heran. Soalnya suara gitarku fals. "Kok kayak gini steman-nya?" tanyanya. Waktu itu, meski sudah bisa sedikit-sedikit aku memang belum bisa nyetem gitar. Setelah membetulkan gitarku, pramugari itu lalu mengajariku memainkan lagu Blowing in the Wind-nya Bob Dylan.

Waktu sekolah di SMP 5 Bandung aku juga punya pengalaman menarik dengan gitar. Suatu ketika, seorang guruku menanyakan apakah ada yang bisa memainkan gitar. Meski belum begitu pintar, tapi karena ada anak perempuan yang jago memainkan gitar, aku menawarkan diri. "Gengsi dong," pikirku waktu itu. Maka jadilah aku pemain gitar di vokal grup sekolahku.

Kegandrunganku pada gitar terus berlanjut. Saat itu teman-teman mainku juga suka memainkan gitar. Biasanya mereka memainkan lagu-lagu Rolling Stones. Melihat teman-temanku jago main gitar, aku jadi iri sendiri. Aku ingin main gitar seperti mereka. Daripada nggak diterima di pergaulan, sementara aku nggak bisa memainkan lagu-lagu Rolling Stones, aku nekat memainkan laguku sendiri. Biar jelek-jelek, yang penting lagu ciptaanku sendiri, pikirku.

Untuk menarik perhatian teman-temanku, aku membuat lagu-lagu yang liriknya lucu, humor, bercanda-canda, merusak lagu orang. Mulailah teman-temanku pada ketawa mendengarkan laguku.

Setelah merasa bisa bikin lagu, apalagi bisa bikin orang tertawa, timbul keinginan untuk mencari pendengar lebih banyak. Kalau ada hajatan, kawinan, atau sunatan, aku datang untuk menyanyi. Dulu manajernya Engkos, yang tukang bengkel sepeda motor. Karena kerja di bengkel yang banyak didatangi orang, dia selalu tahu kalau ada orang yang punya hajatan.

Di SMP aku sudah merasakan betapa pengaruh musik begitu kuat. Mungkin karena aku nggak punya uang, nggak dikasih kendaraan dari orang tua untuk jalan-jalan, akhirnya perhatianku lebih banyak tercurah pada gitar. Sekolahku mulai nggak benar. Sering bolos, lalu pindah sekolah.

Aku merasakan gitar bisa menjawab kesepianku. Apalagi ketika sudah merasa bisa bikin lagu, dapat duit dari ngamen, mulailah aku sombong. Tetapi sesungguhnya semuanya itu kulakukan untuk mencari teman, agar diterima dalam pergaulan.

Suatu ketika ada orang datang ke Bandung dari Jakarta. Waktu itu aku baru sadar kalau ternyata lagu yang kuciptakan sudah terkenal di Jakarta. Maksudku sudah banyak anak muda yang memainkan laguku itu. Malah katanya ada yang mengakui lagu ciptaanku.

Sebelum orang Jakarta yang punya kenalan produser itu datang ke Bandung, aku sebetulnya sudah pernah rekaman di Radio 8 EH. Aku bikin lagu lalu diputar di radio itu. Tapi radio itu kemudian dibredel.

Setelah kedatangan orang Jakarta itu, atas anjuran teman-temanku, aku pergi ke Jakarta. Waktu itu aku masih sekolah di SMAK BPK Bandung. Sebelum ke Jakarta aku menjual sepeda motorku untuk membuat master. Aku tidak sendirian. Aku bersama teman-teman dari Bandung: Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam Amburadul.

Kami lalu rekaman. Ternyata kasetnya tidak laku. Ya, sudah, aku ngamen lagi, kadang-kadang ikut festival. Setelah dapat juara di festival musik country , aku ikut festival lagu humor. Kebetulan dapat nomor. Oleh Arwah Setiawan (almarhum) lagu-lagu humorku lalu direkam, diproduseri Handoko. Nama perusahaannya ABC Records. Aku rekaman ramai-ramai, sama Pepeng (kini pembawa acara kuis Jari-jari, jadi MC, dll), Krisna, dan Nana Krip. Tapi rekaman ini pun tak begitu sukses. Tetap minoritas. Hanya dikonsumsi kalangan tertentu saja, seperti anak-anak muda.

Akhirnya aku rekaman di Musica Studio. Sebelum ke Musica, aku sudah rekaman sekitar 4 sampai 5 album. Setelah rekaman di Musica itu, musikku mulai digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani Willy Soemantri.

(diambil dari iwanfals.co.id)



IWAN FALS

Nama asli: Virgiawan Listanto
Nama populer: Iwan Fals
Nama panggilan: Tanto
Tempat tgl. lahir: Jakarta, 3 September 1961
Alamat sekarang: Jl. Desa Leuwinanggung No. 19 Cimanggis,
Bogor Jawa Barat - Indonesia



Pendidikan:
SMP 5 Bandung,
SMAK BPK Bandung,
STP (Sekolah Tinggi Publisistik, sekarang IISIP),
Institut Kesenian Jakarta (IKJ)

Orang tua: Lies (ibu), alm. Sutopo (ayah)

Isteri: Rosanna (Mbak Yos)

Anak:
Galang Rambu Anarki (almarhum)
Anissa Cikal Rambu Basae
Rayya Rambu Robbani

Hobi: sepakbola, karate